Tak Perlu Malu Berkata “Tidak Tahu’’
Ulama saja tidak gengsi berkata, “saya tidak tahu”, kenapa justru kita malu berterus terang kalau memang kita tidak tahu?
Al Khatib Al Baghdadi mengisahkan bahwa Imam Malik ditanya 48 masalah, hanya dua yang dijawab, dan 30 masalah lainnya dijawab dengan, “la adri“ (saya tidak tahu) (Al Faqih wa Al Mutafaqqih, 2/170).
Kejadian ini tidak hanya sekali. Dirwayatkan juga oleh Ibnu Mahdi bahwa seorang lelaki bertanya kepada Imam Malik, akan tetapi tidak satupun dijawab oleh beliau hingga lelaki itu mengatakan:“Aku telah melakukan perjalanan selama 6 bulan, diutus oleh penduduk bertanya kepadamu, apa yang hendak aku katakan kepada mereka?“ Imam Malik menjawab, “katakan bahwa Malik tidak bisa menjawab!“ (Nukilan dari Al Maqalat Al Kautsari, 398).
Seorang faqih besar Madinah, Imam Madzhab yang dianut ribuan ulama hingga kini, yang madzhabnya menyebar hingga Andalusia tidak segan-segan menyatakan bahwa dirinya tidak mampu menjawab. Tidak hanya beliau, para ulama Madinah juga amat berhati-hati dalam menjawab masalah halal dan haram. Karena jika tidak mengetahui masalah, kemudian memaksakan menjawab, sama dengan menisbatkan suatu perkara yang bukan syari’at kepada syari’at. Beliau menyatakan:“Tidak ada sesuatu yang paling berat bagiku, melebihi pertanyaan seseorang tentang halal dan haram. Karena hal ini memutuskan hukum Allah. Kami mengetahui bahwa ulama di negeri kami (Madinah), jika salah satu dari mereka ditanya, sekan-akan kematian lebih baik darinya.“ (dari Maqalat Al Kautsari, 399).
Abu Hanifah, Imam Madzhab paling tua dari empat madzhab juga pernah ditanya 9 masalah, semua dijawab dengan “la adri”. (lihat, Al Faqih wa Al Mutafaqqih, 2/171).
“La Adri“, Bagian dari Ilmu
Sampai saat ini ada juga yang masih mengira, jika seseorang tidak tahu, lalu ia terus terang mengatakan “saya tidak tahu“, maka sederet stigma negatif akan menempel kepadanya, seperti kurang pengetahuan, bodoh, kuper dll.
Padahal tidak demikian, beberapa ulama seperti Al Mawardi dan Al Munawi menjelaskan, justru merupakan sifat orang alim, jika ia tidak tahu maka ia terus terang. Sebaliknya sifat orang bodoh, jika ia takut mengatakan kalau dirinya tidak tahu, dan hal itu bukanlah sebuah aib.
Beliau menjelaskan:“Kedudukan seorang alim tidak akan jatuh dengan mengatakan “saya tidak tahu“ terhadap hal-hal yang tidak ia ketahui. Ini malah menunjukkan ketinggian kedudukannya, keteguhan dien-nya, takutnya kepada Allah Ta’ala, kesucian hatinya, sempurna pengetahuannya serta kebaikan niatnya. Orang yang lemah dien-nya merasa berat melakukan hal itu. Karena ia takut derajatnya jatuh di depan para hadirin dan tidak takut jatuh dalam pandangan Allah. Ini menunjukkan kebodohan dan keringkihan diennya“. (Faidh Al Qadir, 4/387-388).
Imam Al Mawardi juga menyebutkan: “Jika tidak memungkinkan mendapat kesempatan untuk menguasai seluruh ilmu, maka jahil terhadap beberapa masalah bukan merupakan suatu aib. Jika demikian maka janganlah engkau malu mengatakan,“saya tidak tahu“, menyangkut hal-hal yang engkau tidak tahu“. (lihat, Adab Ad Dunya wa Ad Din, 82)
Sehingga tidaklah heran jika para salaf menyatakan bahwa “la adri“ (saya tidak tahu) adalah bagian dari ilmu. Seperti Abdullah bin Umar yang menyatakan: “Ilmu ada tiga: Kitab yang dibaca, Sunnah yang ditegakkan, dan la adri.“ (Riwayat Ibnu Majah).
Begitu pula Ibnu Mas’ud: “Sudah masuk bagian ilmu, dengan mengatakan “Allahu A’lam“, bagi hal yang tidak diketahui. (Riwayat An Nasai).
Bahkan Al Ghazali menilai bahwa pahala mereka yang mengaku terus terang, tentang ketidaktahuannya, tidak lebih sedikit, jika dibandingkan mereka yang mampu menjawab. Beliau menjelaskan: “La adri adalah setengah dari pengetahuan. Barang siapa diam karena tidak tahu dan itu dilakukan karena Allah, maka pahalanya tidak lebih rendah daripada mengatakan (karena dia tahu). Karena mengakui ketidaktahuan amat berat. Karena kabaikan diam disebabkan tidak tahu karena Allah adalah bentuk kewara’an (kehati-hatian) seperti mereka yang menjawab karena tahu adalah tabaru’an (pemberian). (lihat, Ihya’ ‘Ulum Ad Din, 1/69).
Jika demikian, janganlah kita malu mengatakan terus terang , “saya tidak tahu“, terhadap apa yang tidak kita ketahui. Dan janganlah kita memaksa untuk berbicara tentang hal yang tidak kita ketahui. [thoriq/www.hidayatullah.com]
posting oleh Aik pada 7/23/2009 12:17:00 AM 1 komentar
kategori Fiqih
Rasa Takut Yang Produktif
Perasaan takut adalah sebuah hal yang manusiawi. Tapi bagaimana mengelola rasa takut menjadi lebih bertanggung jawab?
Keberanian sangat diperlukan dalam hidup ini untuk memudahkan tercapainya maksud dan tujuan yang ingin kita capai. Seorang ulama tunanetra ketika disuguhi hidangan ayam panggang berujar, "Seandainya kamu seekor elang tidaklah mungkin diperlakukan orang seperti ini" . Artinya kalau seseorang memiliki keberanian, tidaklah mudah diperlakukan seenaknya oleh orang yang ingin berbuat dan bertindak terhadap dirinya.
Inilah sebagian manfaat keberanian itu. Namun disisi lain rasa takut juga diperlukan. Tentu rasa takut bukan dalam konotasi pengecut, tetapi dalam pengertian takut melakukan pelanggaran terhadap norma-norma dan penggarisan yang telah di tetapkan oleh Allah SWT.
Sebagai contoh dapat kita kemukakan perjalanan kepemimpinan Umar Ibnu Khottab. Dia terkenal seorang yang sangat pemberani. Semasa belum Islam oleh orang Arab dikenal dengan sebutan "Si kidal yang pemberani". Selalu siap menantang jago-jago yang datang untuk bertarung di Pasar Ukasy dan selalu menang. Namun setelah Islam, apalagi setelah menjadi Khalifah dia termasuk orang yang sangat penakut. Takut terhadap pertanggung jawaban kepemimpinannya di hari kemudian. Tetapi tidak dapat disangkal bahwa buah dari rasa takut yang dimiliki Umar Ibnu Khottab ini dapat membuahkan hasil yang sulit dicari tandingannya sepanjang sejarah kepemimpinan dalam Islam. Rasa takut seperti ini dapat digolongkan sebagai rasa takut yang produktif. Bukan rasa takut yang mematikan.
Hasil dari rasa takut
Masih berhubungan dengan kepemimpinan Umar Ibnu Khottab. Sebagai manifestasi rasa tanggung jawab dalam memimpin dan rasa takutnya kepada Alah SWT hampir setiap malam dia ngeluyur ke tengah-tengah kampung, keluar masuk lorong untuk melakukan check on the spot untuk mengetahui langsung apa yang terjadi pada rakyatnya. Kalau-kalau ada yang kelaparan; ada yang sakit atau kena mausibah-musibah lain. Ketika berhenti sejenak disebuah rumah kecil milik seorang janda miskin dia mendengar sebuah dialog antara ibu dengan anak prempuanya. Sang ibu menyuruh anaknya mencampur susu yang akan dijual besok dengan air karena sedikit sekali hasil perahan yang diperoleh tadi siang. Menurut sang ibu kalau tidak dicmpur bakal tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan makan untuk hari ini. Sang anak gadis tidak setuju dengan pendapat orang tuanya dengan alasan, Khalifah melarang keras kita berbuat demikian. Sang ibu megnemukakan alasan bahwa, " Kan Khalifah tidak juga mengetahui pebuatan kita ini".
Sang anak dengan penuh keseriusan mencoba meyakinkan orang tuanya bahwa, "Khalifah Umar memang tidak mengetahui tapi Tuhan Yang Maha Kuasa pasti mengetahuinya. Saya minta dengan sangat jangan sampai ibu berbuat demikian".
Peristiwa itu terjadi menjelang subuh. Umar Ibnu Khattab menuju mesjid smbail menangis haru. Usai shalat Subuh anaknya yang bernama Ashim diperintahkan menyelidiki rumah orang tua miskin yang mempunyai seorang gadis itu. Setelah Ashim kembali menceritakan segala sesuatu tentang keluarga itu, Umar Ibnu Khottab memerintahkan anaknya yang memang sudah berkeinginan untuk nikah agar menikahi gadis miskin tapi suci itu. Mudah-mudahan dari hasil pernikahan itu, kata Umar Ibnu Khottab, lahir seorang pemimpin Arab.
Ternyata kemudian memang terbukti do'a dan harapan itu. Dari hasil penikahan itu lahirlah seorang perempuan yang bernama Laila yang akhirnya dinikahi oleh Abdul Aziz bin Marwan. Dari hasil pernikahan ini lahirlah Umar bin Abdul Aziz yang kelak menjadi khalifah mewarisi kepemimpinan kakeknya, Umar Ibnu Khottab.
Umar bin Abdul Aziz dikenal sangat berwibawa serta jujur dan adil didalam menjalankan mekanisme pemerintahannya. Digambarkan sebagai seorang yang dikepalanya terdapat akal bijak, didadanya terdapat hati pahlawan, dimulutnya terdapat lidah sastrawan. Kelak dia menguasai negeri-negeri Maroko, Aljazair, Tunisia, Tripoli, Mesir, Hijaz, Najed, Yaman, Suriah, Palestina, Yordania, Libanon, Iraq, Armenia, Afghanistan, Bukhar sampai Samarkand.
Kendati dia tetap tinggal di sebuah rumah kecil yang tidak lebih bagus dari rumah penduduk pada umumnya. Sehingga utusan-utusan negara-negara lain yang ingin menemuinya pusing mencari rumahnya, karena jauh diluar bayangannya kalau rumahnya sejelek itu.
Ini adalah buah dari rasa takut yang dimiliki oleh perempuan miskin disudut kota yang menarik hati Khalaifah Umar Ibnu Khattab untuk menikahkan dengan putranya. Lalu melahirkan seorang Laila yang tumbuh dalam iman dan taqwa kepada Allah SWT. Gadis suci dan cantik itu kemudian dipersunting oleh seorang yang tepandang di Madinah karena iman dan taqwanya pula, Abdul Aziz bin Marwan.
Satu lagi cerita yang menggambarkan buah dari rasa takut melakukan perbuatan dosa. Seorang anak yang memungut buah delima yang ranum dari sungai. Setelah dimakan lalu timbul penyesalan. Dia sangat menyesal memakan buah itu tanpa izin kepada pemiliknya. Padahal buah-buahan yang gugur yang dialirkan oleh sungai lazimnya tidak ada lagi sangkut pautnya dengan yang punya. Namun karena anak ini seorang yang wara' , sangat takut melakukan dosa. Dia menelusuri sungai itu kearah hulu sampai dia menemukan sebuah kebun delima. Dicarinya pemilik kebun itu. Dengan sangat agar dia dapat dimaafkan karena telanjur memakan buah delima yang didapati terapung di sungai. Dalam hati pemilik kebun itu, ini tentu bukan anak sembarangan. Si pemilik kebun itu mengetes anak ini. "Tidak mungkin saya maafkan, kecuali kalau kau mau menikahi anak gadisku". "Tapi saya belum ingin nikah, Pak". Jawabnya. "Ya, terserah, tapi saya tidak memaafkanmu". "Baiklah Kalau begitu, saya siap menikahi anak Bapak". " Tapi perlu kamu ketehui" –- kata orang tua itu– "Bahwa anak gadis saya itu buta, bisu, tuli dan lumpuh".
Setelah berfikir sejenak, dalam hatinya secara manusiawi berkata, "Mau diapakan perempuan seperti itu. Tidak dapat diajak berkomunikasi". Tapi demi keselamatannya dari kungkungan dosa yang membahayakan kehidupannya kelak diakhirat dia terima ajakan itu. Diapun dinikahkan langsung oleh orang tua itu setelah memanggil saksi.
Setelah nikah dia sendiri disuruh mendatangi isrinya di kamar. Alangkah kagetnya, karena yang ditemui di kamar adalah seorang perempuan cantik. Mungkin perempuan itu penjaga gadis cacat itu, pikirnya. Dia kembali menemui mertuanya. "Tidak ada di kamar perempuan seperti yang Bapak maksud itu. Di kamar tidak ada orang yang buta, bisu, tuli dan lumpuh.
Sang mertua menjelaskan," Itulah yang Bapak maksud, nak!. Yang saya katakan buta karena tidak suka melihat yang jelek-jelek yang dapat mendatangkan dosa; yang Bapak maksudkan dengan bisu karena tidak suka ngomong yang mendatangkan dosa; yang saya maksudkan dengan tuli karena dia sangat tidak senang mendengar suara-suara yang mendatangkan dosa; yang saya maksud dengan lumpuh karena dia tidak suka kemana-mana, lagi-lagi kaarena takut terlibat dalam perbuatan dosa. Makanya ketika kamu datang melaporkan perbautanmu meminta dimaafkan atas perbuatanmu memakan buah delima yang hanyut di sungai, langsung saya tangkap kamu, karena orang baik-baiklah yang mau melakukan itu. Saya tidak ingin menikahkan anak saya dengan sembarang orang".
Hasil pertemuan kedua orang "takut berbuat dosa" itu, lahirlah seorang ulama besar, yang kita kenal dengan Imam Syafi'i, yang mazhabnya paling banyak pengikutnya di seluruh dunia. Ulama yang sejak umur 7 tahun sudah menghafal Al-Qur'an 30 juz.
Ujian menuju pemerintahan bersih
Negeri ini tengah memasuki era baru dalam pemerintahan. Untuk pertama kalinya rakyat memilih langsung pemerintahnya. Bukan lagi wakil rakyat yang tidak representatif; wakil rakyat yang banyak berbuat yang bertentangan dengan keinginan rakyat yang diwakilinya.
Kini orang yang terpilih akan diuji integritasnya. Apa yang akan dilakukan untuk Indonesia kita yang tengah terengah-engah dan sekarat ini. Apakah akan membiarkan tetap sekarat dengan tindihan utang sebanyak 135 milyar dollar=satu juta dua ratus lima belas trilyun rupiah, yang kalau dibebankan kepada 200 juta penduduk Indonesia berarti tiap orang menanggung enam milyar tujuh puluh lima juta rupiah?.
Atau akan berusaha keras melunasi utang-utang itu agar rakyat Indonesia "tidak sengsara dimalam hari dan tidak terhina di siang hari?" (Hadits). Disamping itu 40 juta orang penganggur mendesak untuk mendapatkan pekerjaan. Pemerintah baru di era baru ini akan diperhadapkan kepada satu kondisi dimana harus selalu self control untuk mengingat-ingat kembali "janji yang telah kuucapkan dihadapanmu wahai rakyat". Dan melakukan secara terus menerus correction for possible deviations. Karena budaya penyelewengan di negeri ini telah mengalir bersama darah bangsa ini.
Ibarat sebatang pohon akarnya telah terhunjam dalam ke petala bumi. Pertanyaan berikut, "Masih adakah rasa takut dalam jiwa kita. Kalau ada, apa yang kita takuti?.
Mahkamah pengadilan sejarah yang tidak mengenal ampun, kalau kita menyakiti hati rakyat, berjoged diatas penderitaannya? Itu sangat penting. Namun yang jauh lebih penting lagi kita takut terhadap pengadilan Qodhi Robbun Jalil –yang berujung dengan penyiksaan yang sangat pedih bila kita tergolong perusak, pendurhaka".
Bila seorang memiliki rasa takut didalam menjalankan mesin pemerintahan atau aktivitas apa saja; menegakkan supremasi hukum, terutama hukum Ilahi; membangun villa keadilan dan menata taman kesejahteraan, sehingga senyum rakyat yang sudah cukup lama tidak pernah nampak kembali tersungging, maka dapat dipastikan akan membuahkan hasil, yakni namanya akan tertulis dengan huruf timbul menggunakan tinta emas dalam lembaran sejarah yang akan dikenang sepanjang masa. Bukan nama yang busuk dan tercabik-cabik oleh torehan sejarah akibat sikap dan perbuatannya yang lupa daratan ketika berkuasa padahal belum jauh dari pantai.
[Manshur Salbu. Dikutip dari Rubrik "Hikmah", Majalah Hidayatullah/www.hidayatullah.com]
posting oleh Aik pada 7/22/2009 11:30:00 PM 0 komentar
kategori Tazkiyatun Nafs
Dampak Negatif Reformasi Terhadap Paham Keagamaan
Sudah lazim setiap kondisi membawa sejumlah implikasi terhadap lingkungan di sekitarnya. ‘Iklim tertutup’, misalnya, ada buruk dan ada baiknya. Begitu juga iklim yang ‘terbuka’, ada positif dan tidak kecil negatifnya. Apalagi jika munculnya suatu kondisi, tidak dipersiapkan sebelumnya, maka seringkali apa yang dibayangkan indah sebelumnya berubah menjadi suasana yang mengkhawatirkan. Lain halnya bila perubahan itu memang direncanakan jauh-jauh hari, sehingga segala implikasi negatif memang sudah diprediksi sebelumnya sehingga bisa dilakukan upaya-upaya antisipatif untuk mencegah atau paling tidak meminimalisir ekses yang timbul dari perubahan tersebut. Reformasi di negeri ini tampaknya merupakan suatu perubahan mendadak yang tidak direncanakan oleh seseorang atau sebuah kelompok. Sehingga ekses-ekses negatif yang merupakan konsekuensi dari reformasi tak sempat terfikirkan oleh pencetus-pencetus reformasi, tiba-tiba ia muncul sebagai suatu realita dan fenomena, yang seringkali justru lebih buruk dari kondisi sebelumnya.
Salah satu buah dari reformasi adalah keterbukaan. Setiap orang atau kelompok merasa bebas untuk menyampaikan pikiran dan pendapatnya di tengah alam reformasi ini seperti apapun pendapat itu. Lalu selanjutnya diserahkan ke pasar yang akan merespon ide tersebut, apakah ia diterima lalu mendapatkan dukungan. Atau sebaliknya ditolak sehingga ide itu hanya ibarat angin lalu dan tidak meninggalkan pengaruh. Hal ini berlaku untuk berbagai dataran, seperti politik, budaya, ekonomi, sampai kepada paham keagamaan. Bila kebebasan itu masih dalam dataran politik, barangkali masih dalam kawasan yang dapat diterima, apalagi mengingat munculnya reformasi berangkat dari politik dan kekuasaan. Tetapi bila kebebasan itu telah menerobos rambu-rambu keagamaan dan doktrin-doktrinnya, hal ini akan dapat membahayakan.
Akhir-akhir ini, banyak paham-paham keagamaan yang muncul di masyarakat dengan membawa simbol-simbol Islam. Paham-paham tersebut bila diukur dengan standar Islam yang baku (Al-Qur’an dan Sunnah) jelas-jelas bertentangan dan tidak boleh dibiarkan, karena dapat menyesatkan masyarakat yang masih awam. Sebagian dari paham itu tadinya pada masa orde baru, memang sudah muncul, tetapi tidak menampakkan kegiatannya, karena takut dianggap sebagai faham sesat dan meresahkan masyarakat. Alasan yang terakhir ini dapat mengundang aparat keamanan untuk campur tangan dalam mencegah keresahan masyarakat. Namun ada sebagian ajaran itu dari dulu tidak terdengar sama sekali, mungkin karena sangat rahasia (full secret), tetapi di era keterbukaan ini, dengan menunggangi iklim reformasi, faham-faham itu muncul, mendeklarasikan dirinya dan melaksanakan aktifitasnya dengan sangat terbuka bahkan sebagian diblow-up oleh media massa. Tetapi, pihak-pihak tertentu yang bertanggungjawab menjaga kemurnian ajaran Islam, seperti MUI, ormas-ormas Islam umpamanya, jarang terdengar suaranya dalam merespons faham-faham tersebut. Sehingga tak sedikit umat Islam yang kebingungan, apakah ajaran yang dibawa mereka itu masih tergolong benar atau sudah bertentangan dengan ajaran Islam yang murni.
Salah satu faham-faham itu ialah aliran Ahmadiyah. Aliran yang lahir pada tahun 1900 ini pada awalnya adalah rekayasa kolonial Inggris yang menjajah India . Dalam ‘Ensiklopedia Agama dan Aliran Modern’ terbitan WAMY, Riyadh, tahun 1989 disebutkan, bahwa target Inggris adalah untuk menjauhkan umat Islam dari ajarannya, khususnya mengenai konsep jihad yang oleh Inggris dirasakan sebagai sumber ancaman dalam agama Islam. Tokoh utama aliran ini ialah Mirza Ghulam Ahmad (1839-1908) yang diyakini pengikutnya sebagai Nabi yang mendapat wahyu dari Allah swt. Dia adalah al-Masih yang dijanjikan Allah. Kenabian (al-Nubuwwah), menurut mereka tidak berakhir dengan diutusnya Nabi Muhammad saw. Tetapi kenabian itu berlangsung terus, kapan saja Allah dapat mengutus Rasul-Nya dalam keadaan memaksa. Ghulam Ahmad adalah Nabi yang terbaik. Mereka mendakwakan kitab suci yang diturunkan kepada Ghulam Ahmad di luar al-Qur’an dengan sebuatan ‘al-Kitab al-Mubin’, yang di Indonesia populer dengan sebutan ‘tazkirah’. Kitab ini tak lebih dari pemotongan-pemotongan terhadap ayat al-Qur’an dan merubah-rubah isinya. Ketika umat Islam di Pakistan melakukan perlawanan keras terhadap pengikut Ahmadiyah, akhirnya mereka banyak yang menyingkir ke Inggris –negara induknya- dan mengembangkan ajarannya di sana . Untuk meredam kemarahan umat Islam dan sekaligus sebagai siasat mendekati umat, pimpinan-pimpinan Ahmadiyah merubah sebagian doktrinnya. Kalau tadinya, Ghulam Ahmad diyakini sebagai Nabi, maka sekarang dia diyakini mereka sebagai reformis saja. Akan tetapi, apapun predikat yang disandang oleh Ghulam Ahmad, pasti tidak akan merubah penilaian Ulama dan umat Islam terhadap anggota gerakan ini sebagai orang yang telah keluar dari ajaran pokok Islam. Sejumlah ulama berkaliber internasional yang bermukim di kawasan Asia Selatan itu ikut menghadapi faham ini, seperti Abul Hasan al-Nadawi, Abul A`la al-Maududui, dan ahli-ahli hadits India dan Pakistan .
Di Indonesia, Ahmadiyah sudah dilarang MUI sejak tahun 1980 dan dinyatakan sebagai ajaran sesat dan keluar dari Islam. Tampaknya di masa reformasi ini, ada upaya pihak-pihak tertentu yang ingin mencabut fatwa MUI itu dan menggiring publik opini untuk menganggap Ahmadiyah sebagai bagian dari umat Islam dan perbedaan faham Islam dengan Ahmadiyah hanya soal kecil saja. Oleh karenanya mereka perlu diterima di tengah masyarakat. Apalagi jika benar sinyalemen bahwa ada di antara pejabat tinggi pemerintah sekarang ini yang menganut faham Ahmadiyah.
Akhir-akhir ini sehubungan dengan acara ‘tasyakkuran 75 tahun’ Jema`at Ahmadiyah Indonesia (JAI), Mirza Thahir Ahmad, khalifah IV Ahmadiyah datang ke Indonesia dan menjadi pembicara dalam seminar yang diselenggarakan oleh International Forum on Islamic Studies (IFIS) yang dipimpin oleh Dawam Rahardjo. Lebih disayangkan lagi adanya upaya untuk menghubungkan antara Ahmadiyah dengan Muhammadiyah. Mirzat dalam kunjungannya ini berhasil menemui Amien Rais yang mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah dan Presiden Gus Dur. Dalam laporan tabloid Tekad, dikatakan bahwa Ahmadiyah akan menjalin kerjasama positif dengan Muhammadiyah. Sulit dibayangkan secara rasional, mencari titik temu antara Ahmadiyyah dan Muhammadiyah, konon lagi mau menjalin kerjasama. Muhammadiyah yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan ini dikenal sebagai gerakan anti bid`ah, syirik dan khurafat, bagaimana mungkin bisa bertemu dengan faham yang bukan saja mempelopori bid`ah bahkan mengajarkan kekufuran dan kemurtadan.
Dalam wawancaranya, Mirzat mengatakan bahwa konsep negara dalam Islam lebih dekat dengan negara sekuler sekarang ini, karena menurut dia, Ahmadiyah lebih bisa hidup di Inggris yang sekuler ketimbang di Pakistan yang secara formal sebagai negara Islam. Ini tidak mengherankan. Sebab Inggrislah yang membidani lahirnya faham ini sejak awal. Dan Ahmadiyah memang tidak layak hidup di negara Islam, karena pemerintahan Islam tidak boleh mentolerir faham-faham yang akan merusak ajaran Islam yang murni.
Faham lain yang mulai terdengar di era keterbukaan ini ialah Baha’i. Baha’i sebagai suatu aliran di Timur Tengah memang sudah lama kedengaran. Tetapi di Indonesia, faham ini baru terdengar dalam bulan bulan terakhir ini. Lahir tahun 1844 didalangi oleh sejumlah kekuatan antara lain kolonial Rusia, Yahudi internasional dan Inggris dengan tujuan merusak akidah Islam serta memecahbelah persatuan umat Islam. Karena dengan munculnya faham baru pasti akan menimbulkan pro-kontra di tubuh umat. Yang pro dan kontra akan semakin meruncing sehingga pada saatnya akan menimbulkan konflik. Hal ini sangat menguntungkan bagi kaum kolonial barat. Sekarang ini pengikutnya tersebar di beberapa negara antara lain, yang terbesar ada di Iran , kemudian sebagian kecil di Iraq , Suriah, Libanon, dan Palestina. Pendiri gerakan ini adalah Mirza Ali Muhammad Reza al-Syirazi (1819-1849). Setelah meninggal dia digantikan oleh Mirza Husein `Ali yang digelari al-Baha’. Dari sinilah ajarannya disebut Baha’iyah. Buku karyanya yang dikenal adalah ‘Al-Aqdas’. Ajaran pokoknya antara lain bahwa Mirza Ali adalah al-Bab yang menciptakan segala sesuatu dan dengan ucapannya terjadi segala sesuatu di alam ini. Mereka juga meyakini kebenaran faham hulul dan ittihad (penyatuan antara Tuhan dan makhluk). Angka 19 adalah angka keramat. Mereka mengakui kenabian Budha, Konfuchius, Brahma, Zradasyt dan tokoh-tokoh Persia kuno. Membenarkan penyaliban Nabi Isa. Mengingkari adanya mukjizat para Nabi, Malaikat dan mengingkari adanya syurga dan Neraka. Masih banyak lagi ajaran Baha’i yang jelas-jelas keluar dari Islam.
Sumber ajarannya adalah ramuan dari sejumlah faham dan agama, antara lain : Syi`ah dan turats Persia pra-Islam, Budha, Brahma, Zradasyti, Manu, Mazdak. Juga ada unsur Yahudi, Nasrani dan faham-faham kebatinan lainnya. Di Indonesia faham ini mengklaim punya pengikut di berbagai daerah antara lain di Tasikmalaya dan menuntut agar pemerintah memberi mereka hak untuk tumbuh dan dalam KTP anggotanya agar diizinkan mengisi kolom agama dengan : Baha’i. Disinyalir ada keluarga produser film sinetron populer asal Pakistan adalah aktifis Baha’i.
Jika Ahmadiyah dan Baha’i adalah faham yang diimpor, maka nabi-nabi palsu juga bermunculan di Indonesia . Adalah Lia Aminuddin mengklaim dirinya mendapatkan wahyu dari Jibril melalui mimpi. Dan puteranya adalah al-Masih yang ditunggu-tunggu kedatangannya. Faham ini mendeklarasikan dirinya sebagai agama ‘Salamullah’. Aliran ini menerima menjadi anggotanya semua penganut agama dan –katanya- mengajarkan hidup damai antar sesama pemeluk agama. Aliran ini mendapat reaksi keras dari umat Islam, namun ada tokoh-tokoh tertentu yang mencoba membela keyakinan Lia Aminuddin yang jelas-jelas bertentangan dengan prinsip dasar Islam.
Meditasi ala Anand Kreshna.
Tak kurang bahayanya bagi ajaran Islam, adalah faham yang akhir-akhir ini dikembangkan oleh Anand Kreshna. Faham ini terbilang baru dari segi baju dan nama, tetapi dari sisi substansi sudah kuno. Pusat aliran ini adalah di India dan pemimpinnya adalah seseorang yang dikenal dengan julukan Baba. Baba ini mempunyai ajaran yang ingin menyatukan semua agama, khususnya Yahudi, Kristen dan Islam. Tampaknya seruan untuk menyatukan tiga agama tersebut adalah sebuah rekayasa Zionis untuk merusak akidah kaum muslimin. Banyak keturunan etnis India di kota-kota besar di Indonesia menganut ajaran Baba ini. Anand Kreshna sendiri terbilang produktif dalam memasarkan ajaran dan faham Baba tersebut. Tak kurang dari tigapuluhan bukunya sudah terbit di Gramedia dan terbilang buku-buku yang laris terjual. Peminat ajaran meditasi ini kebanyakan dari kalangan elit, eksekutif, selebritis yang haus akan ketenangan batin. Tetapi tidak menemukan jalan yang benar melainkan harus menempuh meditasi di bawah bimbingan Anand Kreshna. Banyak dari mereka mengikuti pengajian Kreshna di Paramadina yang menjadi salah satu pos Kreshna.
Ajaran Kreshna bertumpu pada tiga pokok, yaitu : 1. Tuhan adalah aku, Aku adalah Tuhan. 2. Reinkarnasi, 3 Semua agama adalah sama. Dua ajaran pertama merupakan faham yang dianut sekelompok sufi yang sesat pada abad-abad yang silam. Sedangkan ajaran ketiga boleh dibilang baru karena muncul di tengah dominasi Yahudi dalam berbagai sektor kehidupan di dunia kontemporer.
Al-kisah, suatu hari salah satu buku Anand yang berisi ajaran ‘reinkarnasi’ dibedah di rumah ibadah umat Islam, di Masjid Syarif Hidayatullah, Ciputat. Buku dengan judul ‘AH! Mereguk Keindahan Tak Terkatakan’ itu dibedah oleh dua orang doktor filsafat, dosen IAIN Jakarta (Komaruddin Hidayat dan Kautsar), ditambah Lia Aminuddin dan Anand sendiri. Ketiga pembicara sepakat menerima dan membenarkan ajaran reinkarnasi yang ditulis oleh Anand dalam buku itu. Orang Islam yang benar imannya pasti akan terusik emosinya dengan pelecehan dan pelesetan Krishna terhadap hokum al-Qur’an. Krishna menulis di halaman 23: "Undang-undang Dasar yang disahkan pada tahun 1945, sudah terasa kadaluwarsa, sudah perlu disempurnakan. Apalagi undang-undang yang sudah berusia sekian abad." Ungkapan ini tidak bisa dipahami selain pelecehan dan penghinaan terhadap Al-Qur’an yang menjadi undang-undang dalam kehidupan seorang muslim. Tapi Anand Krishna dengan leluasa mengembangkan ajaran meditasinya di berbagai tempat, termasuk di Paramadina. Dan hingga saat ini tak terdengar suara yang menantang kesesatan mereka.
Bila diperhatikan aliran-aliran sempalan yang sekarang ini mulai tumbuh di tengah alam kebebasan mempunyai titik temu yang perlu dicermati, yaitu 1. Bersumber dari faham mistisisme-sufi. 2. Ada upaya ke arah menyatukan semua agama dalam faham baru. Kedua unsur ini tak lepas dari pengaruh kuku-kuku Yahudi. Yahudi Zionis berambisi kuat untuk menggabungkan semua agama menjadi satu payung. Arah ini terlihat jelas dalam ajaran Anand Krishna , Baha’i, Lia Aminuddin dan lainnya. Demikian pula muara faham-faham sesat tersebut dari mistisisme sufi yang sejak dulu membuat masalah terus bagi kehidupan ummat Islam dan sikap para Ulama sangat tegas terhadap mereka (khuruj `an al-millah).
Di Indonesia akhir-akhir ini kajian tasawwuf mulai berkembang, setidak-tidaknya dalam dataran media massa . Fenomena ini bukanlah sesuatu yang menggembirakan dan sama sekali tidak terkait dengan fenomena shahwah islamiyah. Sangat boleh jadi acara-acara ini ditumpangi oleh gerakan tertentu yang memanfaatkan kehausan sebagian masyarakat muslim pada agama. Tujuan mereka adalah untuk semata-mata menanamkan pengkultusan kepada `Ali bin Abi Thalib dan menampakkan rasa permusuhan kepada sahabat-sahabat lainnya.
Sekarang yang menjadi pertanyaan, apakah mentang-mentang adanya keterbukaan dan kebebasan, lantas setiap orang atau kelompok bebas mendeklarasikan fahamnya kendatipun faham itu jelas-jelas menyimpangkan akidah dan ajaran Islam dari sumbernya yang asli. Mereka yang menyebarkan faham-faham aneh itu tidak bisa mengatakan tak ada hubungannya dengan Islam dan ummatnya. Yang mereka jadikan sebagai sasaran adalah kaum Muslimin khususnya yang lemah iman. Dan ajaran-ajaran mereka sedikit banyak menempel-nempel pada Islam atau menggunakan simbol-simbol Islam dengan tujuan buruk yaitu menyimpangkan ajaran Islam yang murni.
Maka dalam kondisi seperti inilah peran MUI justru lebih dirasakan mendesak untuk memberitahukan kepada masyarakat bahwa faham-faham itu adalah sesat dan agar umat islam berhati-hati dan tidak terpengaruh padanya. MUI juga harus mendesak kepada pemerintah untuk melarang penyebaran dan aktifitas faham dan aliran itu. Jika tidak, akan semakin banyak jumlah orang-orang yang tersesat di negeri ini dan ini sedikit banyak merupakan tanggungjawab alim ulama di hari kemudian kelak. Reformasi harus didudukkan pada proporsinya. Bukan mentang-mentang reformasi segala sesuatunya serba boleh dan semua rambu, bebas untuk dilanggar.
0 comments:
Post a Comment
Terimakasih atas kunjungannya
Demi Perubahan Blog Ini Ke Arah Lebih Baik Saran Agan-Agan Sangat Bermanfaat, Terimakasih......!!!